Scroll Untuk Membaca Artikel

Dimensi

Beneran Minal Aidzin Walfaidzin Atau Ikut Rame? 

131
×

Beneran Minal Aidzin Walfaidzin Atau Ikut Rame? 

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi menyambut Hari Raya Idul Fitri. Foto : Istimewa

Hari kemenangan yang dinantikan seluruh umat muslim setelah menjalankan ibadah puasa selama 29 hari sudah dipenghujung hari. Yah, Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah. Ada yang menyambut dengan riang gembira adapula yang merasa sedih karena Bulan Suci Ramadhan telah meninggalkannya.

Sebab, Bulan Ramadhan yang datang setahun sekali memberikan ganjaran pahala yang berlimpah. Tapi bagi yang melaksanakan puasa. Yang tidak, dipertimbangkan dulu.

Semua Ustad di Indonesia bersepakat bahwa menjalankan ibadah puasa harus diiringi dengan peningkatan ketaqwaan, mulai dari salat, mengaji, dzikir, dan lainnya.

Tapi tulisan ini tidak sedang menjelaskan nilai-nilai Ibadah di Bulan Suci Ramadhan. Tapi ini soal ucapan ‘Minal Aidzin Walfaidzin’.

Ogo Masigi : Mata Air Yang Keluar dari Ucapan Guru Tua

Barangkali seluruh umat muslim khususnya di Indonesia memaknai arti Minal Aidzin Walfaidzin adalah ‘mohon maaf lahir dan batin’.

Acapkali ungkapan seperti itu berseliweran ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mungkin sudah jadi tradisi. Padahal pengertian sesungguhnya dari minal aidin wal faizin sebenarnya adalah potongan dari doa ja’alanallah minal aidin wal faizin, yang artinya ‘semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang memperoleh kemenangan’. Kembali yang dimaksud adalah kembali kepada fitrah di hari Idul Fitri.

Meski artinya bukan ‘mohon maaf lahir batin’ tidak ada salahnya kalimat minal aidzin walfaidzin diikuti dengan permohonan maaf. Asalkan bukan ‘ikut rame’ doank.

Selain itu, kita sering menjumpai sanak saudara kita ketika di Hari Raya Idul Fitri akan saling bermaaf-maafan di situasi ini akan mengandung bawang merah. Saling berjabat tangan dan berpelukan selalu terjadi pada saat kerabat mengunjungi kerabat lainnya. Jika ada kerabat kita ada yang bersitegang sebelumnya, maka Hari Raya Idul Fitri seringkali menjadi momen ‘pas’ untuk saling bermaaf-maafan.

Bisa jadi para politikus demikian juga. Karena adanya kepentingan pribadi kemudian menyulut emosi sehingga terjadi permusuhan dan berakumulasi menjadi dendam. Tapi yah beda orang awam dan politikus bermaaf-maafan. Biasanya politikus maafannya di selingi kontrak politik di 2024 mendatang. Entahlah.

Hanya saja, apakah tindakan untuk meminta maaf maupun memaafkan momentual saja?

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling dengki, dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba Allah yang besaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari,” (HR Bukhari [6065] dan Muslim [2559]).

Jelas sekali dalam hadits shahih tersebut, bahwa umat muslim di larang saling bermusuhan, sehingga kata maupun tindakan untuk meminta maaf bahkan memaafkan tak harus menunggu Hari Raya Idul Fitri.

Bahkan jangan sampai permohonan maaf dan memaafkan hanya di Bulan Suci Ramadhan selepas itu kembali gontok-gontokan terus menunggu Bulan Suci Ramadhan lagi maafan lagi. Ribetnya.

Oleh : Miftahul Afdal [Wakil Ketua II HPA Kecamatan Palasa]