Scroll Untuk Membaca Artikel

ZONA Parigi MoutongZONA Sosial Budaya

Masoro : Masalah dan Potensinya

527
×

Masoro : Masalah dan Potensinya

Sebarkan artikel ini
Prosese pelaksanaan Masoro di Rumah Adat Masyarakat Suku Lauje, di Desa Ogoansam, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parimo. Foto : Istimewah

Parigi Moutong, Zona Sulawesi – Rencana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Anggota DPRD Sulteng, Ibrahim A Hafid, untuk mengusulkan upacara adat Masoro menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2023 mendatang, menjadi suatu kebanggan bagi masyarakat Suku Lauje.  Bahwa, Masoro diakui secara formal sebagai identitas masyarakat Suku Lauje.

Namun, Disdikbud Sulteng masih akan melakukan pendokumentasian dan inventarisasi untuk syarat kelengkapan Masoro diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.

Perlu diketahui warisan budaya tak benda adalah warisan budaya yang memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan atau seni. Warisan budaya dimiliki bersama oleh suatu komunitas adat atau masyarakat dan mengalami perkembangan  dari generasi ke generasi dalam alur suatu tradisi.

Olehnya, warisan budaya tak benda bersifat tak dapat dipegang, seperti konsep dan teknologi dan sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lainnya.

Dalam penetapan warisan budaya tak benda terdapat 10 syarat objek kemajuan kebudayaan sebagai berikut :

  1. Tradisi dan ekspresi lisan
  2. Manuskrip
  3. Adat istiadat masyarakat adat, ritus, dan upacara perayaan misalnya upacara tradisional, system organisasi social, sistem ekonomi tradisional dan lain-lain
  4. Ritus
  5. Pengetahuan dan kebiasaan mengenai alam semesta seperti kearifan lokal, pengobatan tradisional
  6. Teknologi tradisional
  7. Seni pertunjukan misalnya seni tari, seni suara, seni music senit teater, film dan lain-lain
  8. Bahasa
  9. Permainan rakyat
  10. Olahraga tradisional

Hingga sekarang terdapat 12 warisan budaya tak benda Indonesia yang diakui dunia yakni Keris, Batik, Pendidikan dan pelatihan batik, Angklung, Noken, Tarian Tradisional Bali, Kapal Pinisi, Pencak Silat, Pantun, Gamelan. Dan pastinya masyarakat Suku Lauje pun berharap bahwa kebudayaannya dapat diakui secara nasional bahkan masuk dalam catatan UNESCO.

Masyarakat Suku Lauje juga memiliki kepercayaan dan keyakinan secara utuh terhadap adat istiadat yang disalurkan secara turun-temurun oleh para leluhur. Menurut Isaacs (1975:29-52) pendekatan primodial melihat identitas etnis, budaya, agama, ras, bahasa, dan lain-lainnya adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah, yang terbentuk melalui proses yang panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang panjang pula.

Etnis dan apa yang menjadi bagian-bagiannya tersebut, seperti religi dan kepercayaan, adalah sesuatu yang given atau terwariskan. Pada dasarnya, dalam pandangan ini, identitas etnis dilahirkan dari sentimen primodial, kesadaran budaya yang terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar, seperti keluarga, keyakinan kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya.

Sementara itu, menurut Thompson (1922), upacara (ceremony) adalah “a public or religious occasion that include a series of formal or traditional action”. Upacara merupakan peristiwa-peristiwa resmi atau keagamaan yang meliputi tingkah laku yang bersifat tradisi atau bersifat formal. Sedangkan Ritual (ritus) adalah bagian dari tingkah laku religius yang masih aktif dan bisa diamati, misalnya pemujaan, nyanyian, doa-doa, tarian dan lain-lain. Sebab ritual memiliki sifat sakral. Seperti halnya Masoro dalam masyarakat Suku Lauje.

Dalam upacara tradisional terjadi hubungan antara otoritas leluhur atau Tuhannya dengan pemujanya yang mana mereka meyakini bahwa yang dipujanya memberikan sesuatu yang bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan. Para pemujanya percaya bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk mencapai suatu tujuan, maka mereka meyakini bahwa dengan bantuan leluhur semua itu dapat dicapaidicapai (Lihat Drs. Ajisman, dkk, Perubahan Upacara Tradisional pada masyarakat pendukungnya, Proyek Pengkajian dan Pembinaan nilai-nilai budaya Provinsi Kalimantan Barat, 1998).

Baca juga : LJi Sulteng Bersama KPA Punggawa Peringati WED dengan cara Penanaman Mangrove

Masoro dalam Masyarakat Suku Lauje

Kata Masoro atau Mosoro bermakna “menghentikan”. Artinya Masoro adalah sebuah upacara adat yang dipercayai secara kolektif oleh masyarakat Suku Lauje bisa menghentikan datangnya bencana dan penyakit yang mengancam kehidupan masyarakat Suku Lauje.

Masoro dilaksanakan setahun sekali pada bulan Desember. Akhir tahun adalah masa selesai panen sekaligus penyambutan datangnya tahun baru untuk memulai menanam kembali. Rangkaian kegiatannya memakan waktu selama tiga hari.

Sehingga, Masoro juga dipandang sebagai bentuk kesyukuran masyarakat Suku Lauje kepada sang pencipta yang telah memberikan kesuburan dan kehidupan.  Dalam momentum yang sama masyarakat Suku Lauje kembali meminta permohonan diberikan kesuburan. Dan hal itu telah menjadi tradisi secara turun temurun.

Saat ini yang dapat diindentifikasi melaksanakan Masoro yaitu masyarakat Suku Lauje yang berada di Kecamatan Palasa, Tinombo dan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Sebelum memulai acara sakral tersebut, Ketua Suku Lauje yang disebut Olongian akan melaksanakan musyawarah bersama pemangku adat yang berada di wilayah setempat.

Saat menjelang Masoro, Olongian juga akan mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mendulang emas di salah satu tempat. Emas itu menjadi bagian kelengkapan perangkat dalam Masoro.

Jika merujuk Masoro di Kecamatan Palasa, pelaksanaanya berawal dari pegunungan dan berakhir di laut. Karena perjalanan Masoro harus melalu lima tempat berbeda yaitu :

  1. Bambanuayo sebagai tempat pembukaan adat.
  2. Bambabalal sebagai tempat pertemuan air
  3. Pongolipangatang sebagai tempat pertemuan air besar
  4. Bambasiang sebagai tempat tersebarnya air
  5. Bambamate sebagai tempat penutupan adat

Dalam pelaksanaan Masoro terdapat dua buah perahu kecil sebagai wadah sesembahan masyarakat Suku Lauje. Perahu yang berisikan sesembahan itu, akan digalas dari dataran tinggi tempat pertama yang disebut Bambanuayo sebagai awal pembukaan adat Masoro dan berpindah ke Bambabalal, selanjutnya ke Pongolipanagtang, kemudian di Bambasiang hingga di rumah adat Suku Lauje yang bertempat di Desa Ogoansam, Kecamatan Palasa.

Di rumah adat tersebut, Olongian dan para pemangku adat akan melakukan ritual pemanggilan leluhur Suku Lauje untuk mengharapkan keselamatan bagi masyarakat Suku Lauje agar terhindar dari segala musibah dan penyakit. Di tempat itu, para pemangku adat yang telah kesurupan roh leluhur akan menari mengelilingi perahu diiringi tabuhan gong dan seni musik tradisional Mongumbuy. Setelah berbagai ritual itu selesai dilakukan, selanjutnya arak-arakan perahu yang berisikan sesembahan ke tempat penutupan adat yaitu Bambamate.

Arak-arakan itu disertai Momanca yakni seorang pemangku adat yang dilengkapi dengan sebilah pedang yang terhunus dari sarungnya. Serta sarung berwarna kuning melingkar di badannya. Juga Mbanto yang diikatkan di kepala. Tampak seperti pendekar Suku Lauje.

Sesampainya di muara sungai Palasa, Olongian dan para pemangku adat terlebih dahulu merapalkan mantra dan para pemangku adat kembali menari mengelilingi perahu. Selanjutnya perahu berisikan sesembahan dihanyutkan di lautan lepas sebagai ungkapan terimakasih kepada Ilah sang penguasa alam semesta.

Selepas itu Olongian dan para pemangku adat kembali ke rumah adat Suku Lauje untuk melakukan doa bersama secara syariat Islam. Dengan tujuan meminta keselamatan dari Allah Subhanawata’ala.

Tidak Diperbolehkan Menebang Pohon dan Menggali Tanah saat Proses Masoro

Saat proses Masoro dilakukan, masyarakat Suku Lauje juga harus mematuhi peraturan adat, di mana setiap individu maupun kelompok dilarang menebang pohon atau menggali tanah selama tiga hari. Apabila seseorang atau kelompok melanggar aturan adat itu, maka akan dikenakan sanksi adat yaitu Sala Mpale berarti seseorang atau kelompok telah melakukan aktivitas penebangan pohon atau menggali tanah dan wajib membayar denda sebesar Rp 300 ribu.

Sehingga Masoro juga memiliki peran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Bahwa alam perlu diisterahatkan dalam waktu tertentu.

Dalam hukum adat Suku Lauje terdapat 3 sanksi adat yang dapat dikenakan terhadap seseorang maupun kelompok orang yang melanggar peraturan adat. Pertama Sala Mbimbi berarti seseorang telah melakukan kesalahan dalam berucap, misalnya menyebarkan fitnah, kabar bohong (tanpa diketahui kebenarannya), melontarkan kalimat tidak baik dan lain sebagainya. Kedua yakni Sala Mate bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran dengan menggunakan matanya, seperti mengintip perempuan sedang mandi dan atau mengintip perempuan di kamarnya. Terakhir adalah Sala Mpale berarti seseorang atau kelompok orang telah melakukan perbuatan dengan tindakan kesengajaan melanggar aturan adat Suku Lauje, salah satu contohnya memasuki rumah tanpa seizin pemiliknya dan larangan dalam proses Masoro.

Masalah Anggaran Pelaksanaan Masoro

Pelaksanaan Masoro tidak terlepas dari berbagai masalah. Masalah yang seringkali dijumpai adalah kekurangan anggaran untuk melengkapi perangkat Masoro. Sehingga, tak jarang para pemangku adat dan pemerhati adat Suku Lauje harus berjeripayah mengumpulkan anggaran dari pihak pemerintah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten melalui donatur atau sejenisnya.

Meskipun, masyarakat juga turut memberikan sumbangan demi terlaksananya Masoro. Namun, hanya sebagian kecil saja memiliki kesadaran untuk ikut berpartisipasi melalui sumbangan. Akibatnya, tanggal pelaksanaan Masoro bersifat tentative, meski telah ditetapkan upacara adat tersebut dilaksanakan pada awal bulan Desember, karena menunggu anggaran tercukupi.

Olehnya, DPRD Provinsi Sulteng maupun DPRD Kabupaten Parigi Moutong perlu mengusulkan anggaran untuk Masoro melalui Disdikbud Provinsi Sulteng dan Disdikbud Kabupaten Parigi Moutong. Apalagi dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Sulawesi Tenga Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kebudayaan Daerah selayaknya Masoro sebagai identitas masyarakat Suku Lauje mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Sehingga, pelestarian Masoro bisa berkelanjutan.

Potensi Masoro jadi Wisata Budaya

Salah satu ketertarikan wisatawan mancanegara datang ke Indonesia adalah kekayaan budayanya yang tidak dimilki negara lain. Dan budaya itu terus dilestarikan oleh komunitas adat tertentu dari generasi ke generasi.

Upacara adat Masoro sebagai salah satu unsur budaya apabila dikelola dengan baik dapat menjadi potensi wisata budaya.

Bali adalah satu diantara banyaknya daerah yang didatangi oleh wisatawan , di mana upacara adat di wilayah itu menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung. Dan menjadi sumber pendapatan asli daerah melalui wisata budaya.

Barangkali Festival Upacara Adat Masoro ataupun Festival Tanah Lauje dengan menampilkan pertunjukan seni tradisional dan permainan tradisional Suku Lauje bisa menjadi daya tarik untuk wisatawan. Apabila hal ini terwujud, maka akan ada perputaran ekonomi di masyarakat Suku Lauje dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Lauje.

Akan tetapi, diperlukan suatu kesepakatan bersama antara Olongian beserta perangkatnya, para pemangku adat, dan masyarakat Suku Lauje. Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun konsensus internal lingkup Suku Lauje dengan menetapkan tanggal pelaksanaan Masoro agar wisatawan tidak kebingungan dalam menentukan waktu untuk berkunjung melihat momen sakral dalam masyarakat Suku Lauje.

Kemudian, penetapan tanggal itu juga dapat didorong ke Bidang Kebudayaan, Disdikbud Provinsi Sulteng dan atau Disdikbud Kabupaten Parimo. Dengan begitu, pelaksanaan Masoro di seluruh wilayah persebaran masyarakat Suku Lauje menjadi agenda prioritas.

Oleh : Miftahul Afdal (Koordinator Eksekutif Lajue Institute Sulteng)