Site icon Zona Sulawesi

MENUJU TRADISI TULISAN BERBAHASA LAUJE

Aris Arianto. Foto : Pribadi

Oleh: Aris Arianto

Zona Sulawesi – Di tengah gempuran term-term gaul saat ini, seolah telah menjauhkan generasi millenial dari kegemaran berbahasa daerah yang katanya sudah dianggap kuno dan “kampungan”. Perlu upaya untuk mempertahankan keberadaan bahasa daerah sebagai jati diri bangsa tanpa bermaksud menghilangkan term-term gaul yang lagi ngetren di kalangan anak muda.

Tidak sekadar menjaga bahasa daerah Lauje agar tidak menghilang dari muka bumi, tapi perlu upaya untuk mengakrabkan generasi muda dengan bahasa ibu. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengakrabkan mereka dengan tradisi tulisan. Masalahnya karya-karya tulis berbahasa Lauje sangat minim ditemukan. Hambatan lain dalam tradisi tulisan berbahasa Lauje adalah adanya perbedaan dialek dan logat penutur yang terjadi antar desa yang berbeda, bahkan bisa terjadi perbedaan dalam satu desa.

Beberapa contoh penyebutan kata “dapur” dalam bahasa lauje; wahu atau wafu. Penyebutan kata wahu atau wafu bisa ditemui pada penuturnya dari daerah (desa) yang berbeda. Secara lisan ini tidak menjadi masalah karena dianggap sama.

Akan menjadi masalah ketika kata-kata tersebut ditulis dengan tambahan kata depan. Saya menemukan beberapa penutur menulis wahu/wafu secara berbeda, misalnya; li wahu, li wafu, li yahu, li yafu, li afu, atau li ahu.

Kita lihat pada kata “makan”, dalam bahasa Lauje; minang. Kita akan temukan beberapa kata turunannya; inang, uninang, uminang. Yang lebih “berantakan” lagi, terjadi pada frasa. Saya ambil contoh “gunung tinggi” dalam bahasa Lauje; huyul apangkat, huyul yapangkat, fuyul apangkat, atau huyul yapangkat.

Sekarang kita tengok kalimat, “Saya pergi ke pasar”. Saya menemukan penulisan yang beragam dalam bahasa Lauje. Saya tuliskan dengan struktur yang sama: (1) Lia melampa pasaroma, (2) Lia’e melampa pasaroma, (3) Lia ma’o pasar, (4) Lia’e pasaroma, (5) Lia’e ma pasar.

Selama ini, tidak ada masalah dari penuturnya terkait hal itu. Sepanjang saling memahami dalam berkomunikasi lisan, saya pikir sah-sah saja. Namun, akan menjadi masalah serius ketika kalimat atau kata disampaikan dalam ragam tulisan. Nah, masih banyak kata atau kalimat yang perlu dirapikan penulisannya, sehingga perlu adanya kesepakatan penulisan kata baku dan non baku seperti aturan penulisan kata dalam bahasa Indonesia.

Apakah kita harus menunggu kesepakatan penulisan baku baru memulai menulis karya berbahasa Lauje? Tentu saja, tidak. Saatnya kita mulai berkarya. Kebiasaan menulis berbahasa Lauje harus ditumbuhkan mulai sekarang terutama di kalangan generasi muda kita. Saatnya kita menuju tradisi tulisan Lauje tanpa mengabaikan kaidah bahasa Lauje yang sudah ada.

Ke depan, kita butuh orang (ahli) yang memiliki disiplin ilmu kebahasaan yang mumpuni dalam riset kebahasaan yang mendalam terkait bahasa Lauje ini. Dari hasil riset diharapkan lahir kamus-kamus berbahasa Lauje dan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Daerah Lauje. Kedua buku referensi ini akan mempermudah para penulis dalam berkarya, seperti menulis karya fiksi atau nonfiksi dalam bahasa Lauje.

Baca juga : Desa Ghaib Perempuan Bergaun Merah

Exit mobile version