Scroll Untuk Membaca Artikel

Dimensi

Miskin Tak Dianggap Keluarga

256
×

Miskin Tak Dianggap Keluarga

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Kakes sedang murung. Sumber : Kompasiana/Shutterstok

Pagi itu, tepat pukul 7.30 Wita, di pinggir jalan raya. Nampak seorang lelaki paruh bayah duduk di sudut warung Bu Sri. Kakek itu tidak sedang membeli atau selepas membeli, karena tak punya cukup uang, ia hanya menyandarkan tubuhnya ke dinding warung yang terbuat dari kayu.

Sesekali Amin menghela nafas panjang. Dalam benaknya selalu terfikir “Entah ku beri makan apa isteri dan cucuku sebentar”. Di usianya yang tak lagi muda sulit baginya mendapatkan pekerjaan tetap. Bahkan riuhnya para pembeli di warung yang sedang pembahas Jokowi 3 Periode tak dihiraukannya. Sebab, ia sadar siapapun presiden jika konglomerat masih bersemayam di bumi pertiwi pastilah tak ada yang berubah. Begitu nasibnya juga.

Amin kemudian melirik ke kanan dan kiri, berharap ada keajaiban turun dari mobil berplat merah untuk memberikannya pekerjaan, barangkali dengan begitu ia bisa jadi warga yang menuju pra sejahtera. Sayangnya, soal kesejahteraan hanya ada di tim sukses semata.

Amin kian gelisah. Di rumah ada 3 orang cucu yang harus ia hidupi, ditambah lagi isterinya yang mulai sakit-sakitan. Ketiga cucunya itu di titipkan oleh ibunya kepada kakek mereka karena sang ibu bertujuan pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Sebab, anak perempuan Amin itu sudah lama bercerai dengan suaminya. Amin yang tak tega dengan ketiga cucunya yang berusia di bawah 10 tahun. Dirawatnya, meski tuntutan hidup membayanginya.

Satu tahun lalu, Amin tak merasa kesulitan ekonomi. Sebelum dirinya kehilangan sawah 2 setengah hektar. Ia menjual sawah itu karena di tempat ia tinggal, air tak lagi mengalir dari irgasi. Pikirnya, buat apa bersawah jika air tak ada lagi. Seperuhnya sudah ia jual untuk berobat isterinya. Selanjutnya, karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, di mana minyak goreng semakin mahal dan harga listrik mulai naik. Amin pun terpaksa menjual semua sawahnya itu. Namun, uang hasil menjual sawah telah habis. Ya untuk dipaki lagi berobat isterinya.

Salah jika orang bilang sehat itu mahal. Yang sebenarnya sakit itulah yang mahal.

Setengah jam sudah Amin duduk di sudut warung. Ia teringat saudaranya bernama Enda. Usia Enda dan Amin tak terpaut jauh.  Bisa dikata Enda ini punya banyak usaha di kampung itu, mulai dari jual-beli kelapa, punya sarang wallet, dan penjual bawang goreng.

Pergilah Amin ke rumah Enda, ia bermaksud untuk meminjam uang dari sepupunya itu. Barangkali dengan mengingat masih punya pertalian kekeluargaan, Enda bisa empati untuk memberi.

Kakek tua itu mulai masuk ke dalam halaman rumah sepupunya yang begitu luas. Panjangnya sekira 6 kali dan lebarnya 4 meter, semuanya telah di paving. Di atas lantai keramik yang bercorak abstrak nan indah Amin berdiri. Ia menekan bell pintu rumah itu, sebanyak 5 kali.

Ternyata kesabaran Amin tak hanya sampai di depan pintu. Ketika pintu itu di buka, bukannya menerima salam balik dari tuan rumah, Kakek paruh baya tadi malah mendapat bentakan dari Enda yang langsung membuka pintu rumahnya.

Melihat penampilan dari Amin dengan celana pendek yang bernoda dan baju yang kusut. Sontak, Enda bertanya. Siapakah Amin. Ia seakan tak mengenali ponakan dari Ayahnya sendiri.

Mendengar perkataan itu keluar dari mulut Enda. Amin langsung pergi tanpa berpamitan. Langkah kakinya  diiringi air mata saat hendak ingin pulang.

Padahal, semasa Enda  belum sekaya seperti itu. Enda seringkali datang ke rumah Amin untuk meminjam uang dengannya. Mengingat Enda sebagai saudaranya sendiri Amin tak segan-segan untuk memberi. Naasnya, air susu di balas dengan air tuba.

Beratapkan dedaunan pohon jembolan. Amin kembali menyandarkan tubuhnya sambil duduk di atas batang kayu kering. Ia terisak mengingat perlakuan dari keluarganya tadi. Dalam benaknya berkata “Apakah rasa kekeluargaan nilainya terlalu murah harus diukur dengan materi”.

Terselubung rasa kesal, Amin sempat berandai. Jika saja ia orang kaya, maka tak ada satu orang pun yang seakan tak mengenalinya. Apalagi dari keluarga. Dan meyakini semua orang akan menghormatinya. Namun, semua itu berangkat dari materi bukan dari hati.

Oleh : Awan Timur