Scroll Untuk Membaca Artikel

Dimensi

Sering jadi Kata Umpatan, Ini Makna ‘Esio’ Menurut Peneliti BRIN

3692
×

Sering jadi Kata Umpatan, Ini Makna ‘Esio’ Menurut Peneliti BRIN

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi seseorang sedang meneriaki kata Esio. Foto : Istimewa

Parigi Moutong, Zona Sulawesi Bagi masyarakat suku Lauje di dataran rendah, kata ‘Esio’ sering menjadi umpatan ketika mengobrol dengan lawan bicara, baik saat nongkrong bahkan dalam keadaan marah.

Bahkan, ‘Esio’ menjadi identik bagi masyarakat Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) di wilayah utara. Sebab, kata ‘Esio’ begitu akrab di telinga mereka karena hampir setiap harinya kata itu dilontarkan dari mulut orang-orang yang lebih sering disebut “orang pante timur”.

Kata ini pernah viral pada tahun 2016, dalam film pendek berjudul D’Preman yang tayang di channel youtube Nadoyo Production. Di mana seseorang yang berperan sebagai Don Lego dalam keadaan emosi menggunakan bahasa Lauje mengatakan “mepesiambo jimoani”. Kemudian disambungnya dengan umpatan “Sioo”. Dari sinilah kata ‘Esio’ mulai dikenal oleh masyarakat luas.

Sayangnya, baik generasi millenial maupun gen z, tidak memahami makna kata ‘Esio’. Tidak kurang dari mereka hanya sekedar mengucapkan saja.

Memang, pada dasarnya pemaknaan ‘Esio’ seperti dua sisi mata uang, baik secara positif maupun negatif. Saat  bercengkrama bersama teman-teman, kata ‘Esio’ ini akan keluar ketika teman yang satu menyudutkan teman lainnya. Sambil ketawa-ketiwi.

Nah, karena kebiasaan ini. Sehingga ‘Esio’ tidak lagi menjadi sebuah kata yang bermakna negatif. Sebab, di tengah keakraban pun ‘Esio’ kerapkali muncul.

Meskipun begitu, tidak sedikit pula masyarakat Lauje yang menganggap bahwa ‘Esio’ memiliki makna negatif. Barangkali karena, ‘Esio’ sering diucapkan ketika dalam keadaan emosi.

Malah, sebagian masyakarakat Lauje, ada yang bilang ‘Esio’ sama dengan “monadea” diartikan sebagai sumpah serapah.

Sehingga, kata ‘Esio’ sangat dilarang untuk diucapkan oleh anak-anak.

Bagaimana Menurut Peneliti BRIN Terkait Kata Esio ?

Salah satu peneliti Badan Riset Inovasi Negara (BRIN), Deni Karsana, S.S,M.A menjelaskan memaknai kata ‘Esio’  tergantung sudut pandang seseorang. Menurutnya, ‘Esio’ bisa menjadi kata makian ketika seseorang meluapkan rasa emosinya.   

“Jika kita melihat bagaimana konteks  kata itu dipakai. Bisa menjadi  menjadi kata kotor yang digunakan sebagai kata umpatan maupun makian. Kata tersebut sangat identik dengan kondisi ketika seseorang mengalami emosi yang meledak, marah, kesal, dan hendak menyalurkan emosi negatifnya,” jelasnya.

Peneliti BRIN, Deni Karsana, S.S,M.A. Foto : Pribadi

Menariknya, Ketua Tim Penelitian Upaya Pelestarian Bahasa Lauje di Sulawesi Tengah (Sulteng) itu mempunyai makna yang berbeda dari masyarakat Lauje pada umumnya. Di mana, Deni mengungkapkan bahwa ‘Esio’ berarti bersenggama.

“Kata esio yang berari bersenggama atau berhubungan badan. Kata ini mirip dengan  kata jancuk dalam bahasa Jawa (khas surabaya),” ungkap Deni.

Lantaran penggunaannya yang identik dengan kemarahan semacam itu, Deni menilai, kata ‘Esio’ sendiri dipandang tabu oleh masyarakat dan mempunyai konotasi yang sangat negatif.

Oleh sebab itu, kata ‘Esio’ mesti dipandang sebagaimana kata umpatan pada umumnya, sehingga mengharuskan setiap orang untuk berhati-hati menggunakannya. Dalam beberapa konteks tertentu, masyarakat Jawa Timur juga dapat memaknai ‘Jancuk‘ sebagai kata netral yang tak mesti mewakili emosi atau kemarahan.

“Semua tergantung situasi kondisi, jika digunakan dalam habitatnya (yang paham), misalnya: pada sekumpulan anak muda, terus kedatangan temannya yang punya kelakuan minus, maka muncul kata  makian, seperti jancuk kowe , senggama kamu,” terang Deni.

“Kata  jancuk tidaklah menjadi makian, tetapi bermakna untuk senda gurau, hal yang biasa, sebagai kelakuan yang dimaklumi. bahwa ungkapan kata jancuk itu dipakai dengan pemahaman peruntukkan yang berbeda. Memang perlu perhatian konteksnya ketika diujarkan kata makian tersebut,” lanjutnya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Deni menyatakan ‘Esio’ adalah kata makian atau masyarakat Lauje menyebutnya “batadea”.

“Dari info tetua Lauje tadi batadea–sebenarnya berarti memaki. kata dasarnya tadea. Monadea sama dengan  mencaci maki. Esio lebih bersifat makian dan cacian.  Esio bagi suku lauje jadi bermakna lebih baik mati. Hal ini dalam artian, bahwa tindakan (uacapan) lawanmenyinggung harga diri, atau semisal dia dituduhkan sesuatu yang tidak dilakukan. Sifat orang lauje adalah sangat meyakini atau menjunjung kebenaran,” terangnya.

“Sebagian masyarakat Lauje memahami kata esio sebagai hal cacian kepada seseorang yang bertindak atau berujar tidak sesuai,” pungkas Deni.

Baca juga : Hubungan Antar Caleg Dan Pemilih dalam Analisis Teori Pertukaran Sosial