Scroll Untuk Membaca Artikel

ZONA Sulawesi Tengah

Yahdi Basma dan Aktivis Mangrove Ingin Negara Hadir Lindungi Mangrove di Kabupaten Donggala

62
×

Yahdi Basma dan Aktivis Mangrove Ingin Negara Hadir Lindungi Mangrove di Kabupaten Donggala

Sebarkan artikel ini
Anggota DPRD Sulteng, Yahdi Basma bersama Ketua Gonenggati Jaya dan Pembimbing Sahabat Hijau Mangrove di ruang Fraksi Nasdem DPRD Sulteng. Foto : Zona Sulawesi/Miftahul Afdal

Palu, Zona Sulawesi – Anggota DPRD Sulawesi Tengah, Yahdi Basma bersama Aktivis Mangrove menginginkan agar negara hadir melindungi mangrove di Kabupaten Donggala.

Keinginan itu berangkat dari sejumlah masalah yang dihadapi oleh para aktivis mangrove karena adanya seseorang berinisial AM yang mengklaim tanah milik mereka di lokasi tanaman mangrove yaitu di Kelurahan Kabonga Besar dan Kabonga Kecil,  Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Padahal, menurut Yahdi Basma ketika terjadi tsunami pada 28 September 2018 silam. Mangrove telah melindungi sebagian masyarakat Kabupaten Donggala dari hantaman ombak yang hampir mencapai 11 meter itu.

“Kabonga Besar dan Kabonga Kecil tidak terdampak tsunami karena banyaknya mangrove sehingga ketika terjadi tsunami ombak pecah terhalang mangrove,”ucap Yahdi saat pertemuan dengan Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Gonenggati Jaya, Yuryanto dan Pembimbing Sahabat Hijau Mangrove, Hendra di ruang Fraksi Nasdem, DPRD Sulawesi Tengah, Selasa (12/10/2021).

Olehnya itu, bagi Yahdi kehadiran mangrove di bibir pantai sangat penting untuk menjaga permukiman warga dari hantaman ombak besar. Akan tetap, kata dia, timbul masalah klaim di Kelurahan Kabonga Besar, di mana terdapat satu hutan mangrove hampir 10 hektare, dan 5 hektare sebagian di claim seseorang sebagai tanahnya di pengadilan tinggi.

“Jadi ada hutan mangrove di claim saudagar kaya di Donggala sebagai tanahnya, dia memenangkan di pengadilan,” ucapnya.

Sehingga, Yahdi mengatakan, ketika orang lemah  berhadapan dengan orang kaya, maka tidak ada sejarah Republik Indonesia masyarakat miskin yang lemah akan menang.

“Saat ini nasip hutan mangrove berada di Kasasi Mahkamah Agung, apabila kalah lagi, maka akan dieksekusi milik pribadi,”terangnya

“Padahal mangrove ini juga bisa menyerap karbondioksida, membersihkan udara untuk oksigen yang kita hirup, dan tempat Yuri ini sudah menjadi wisata mangrove. Karena banyaknya pengunjung yang datang akhirnya di claim oleh salah satu pengusaha itu,” tambahnya.

Sebagai Anggota DPRD, Yahdi berharap masalah ini tidak hanya menjadi masalah anak muda dan aktivis di Kelurahan Kabonga Besar dan Kabonga Kecil. Tapi ini menjadi problem publik yang harusnya menjadi pekerjaan bersama khsususnya bagi pemerintah.

“Kedepannya kami juga mau dorong untuk teluk Palu jangan semua serba beton harus di selingi dengan Mangrove karena semua beton akan berdampak terhadap nelayan. Dan habitat laut tidak bisa hidup alamiah,” pungkasnya.

Ketua KTH Gonenggati Jaya, Yuryanto mengatakan setelah hutan mangrove di bentuk menjadi objek wisata oleh pihaknya, kemudian muncul AM mengklaim bahwa wilayah itu adalah miliknya.

“Jadi pembuktian klaiam dia tunjukkan dengan akta jual beli tapi ganda. Karena dalam akta jual beli itu tertera 1,5 atau 1 hektare lebih dan di akta jual beli kedua 3,5 hektare. Namun nomor serinya sama,” katanya.

Sebelumnya, masalah ini sempat dilakukan mediasi di Kelurahan Kabonga Besar, tapi tidak berjalan mulus karena pengunggat bersikukuh mengklaim hutan mangrove itu miliknya.

Karena mediasi di kelurahan tidak ditemui titik temu, maka mediasi pun dilanjutkan ke tingkat kecamatan. Namun, kata Yuryanto, di kecamatan tidak juga terselesaikan.

“Sebab ketidak selesaian itu akibat yang mengklaim tersebut ngotot. Dan dia bilang tidak ada kegiatan apa-apa di dalam kecuali anak-anaknya,” ucapnya.

Yuryanto jelas menolak klaim sepihak yang dilakukan oleh AM. Sebab, KTH  Gonenggati Jaya Jaya berdasarkan peraturan dari Kementrian Kehutanan bahwa KTH adalah masyarakat atau yang berdomisili di Kelurahan Kabongga Besar. Sementara, kata dia, pengugat bukan masyarakat dari Kelurahan Kabonga Besar.

“Karena buntu akhirnya sampai ke kepolisian tepatnya di Polres Donggala. Dan dari Kasat reskrim menginginkan adanya pengukuran. Tapi kami tidak mengitakan pengukuran karena bagi kami jika kembali ke Undang-Undang bahwa mangrove adalah milik negara,” jelasnya.

Yuryanto mengatakan, ketika proses ini masuk dalam tahapan pengadilan disinyalir AM menggunakan cara lain, karena anak dari penggugat adalah salah seorang perwira.

“Penggungat sudah meninggal belum satu tahun, menggugat dulu kemudian ia meninggal,” ucapnya.

Sehingga, saat masalah klaim sepihak ini telah masuk di Mahkamah Agung.

“Padahal jelas sudah jelas ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 (“UU WP3K”) tentang Batas Sempadan Pantai,” tandasnya.

(MLD)