Scroll Untuk Membaca Artikel
banner 970x250
DimensiZONA Parigi Moutong

Cerita Pompoisi, Veteran dari Tanah Lauje yang Pernah Ikut Perang Dunia II

720
×

Cerita Pompoisi, Veteran dari Tanah Lauje yang Pernah Ikut Perang Dunia II

Sebarkan artikel ini
Salah satu narasumber menunjukan Surat Keputusan (SK) pengangkatan Pompoisi sebagai Jenderal dengan pemberian 3 bintang dari Jenderal Soedirman. Foto : Zona Sulawesi.

Parigi Moutong, Zona Sulawesi – Barangkali tidak banyak yang mengetahui bahwa di Tanah Lauje tepatnya di Desa Palasa Lambori, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, pernah hidup seorang veteran yang sempat mengikuti perang Dunia II.

Namanya Pompoisi yang diyakini masyarakat sebagai seorang pejuang kemerdekaan ketika melawan penjajah. Cerita Pompoisi sudah lama tersiar di telinga masyarakat. Bahkan, di beberapa daerah seperti di Pantai Barat, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, juga mengenal sosok tersebut dengan sebutan Sang Jenderal.

Pompoisi juga sering dikaitkan dengan kisah mistis. Kabarnya, wujudnya sering dijumpai di Wentira yang dianggap sebagai kota ghaib bertempat di wilayah Kebun Kopi yang menghubungkan Kabupaten Parimo dan Donggala. Hal seperti ini sering disampaikan oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan spritual.

Namun, seorang warga Desa Eeya, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parimo, Ahaludin membantah penyampaian tersebut, karena sesuai penglihatannya saat bertemu dengan Pompoisi yang ia perkirakan saat itu berumur 71 merupakan manusia biasa seperti pada umumnya.

“Saat saya bertemu dengan beliu tidak pernah ada pembicaraan soal dunia ghaib, kalau ada yang mengatakan seperti beliu biasa dilihat di Wentira saya membantah perkataan seperti itu,”:ucapnya.

Ahaludin yang pernah bertemu langsung dengan Pompoisi. Foto : Zona Sulawesi

Berdasarkan penuturan dari lelaki berusia 59 tahun itu, ia pernah berbicara secara langsung dengan Pompoisi sekitar tahun 1992 silam. Bahwa, ia meyakini juga Pompoisi berasal dari Pantai Timur bertempat di Desa Palasa Lambori, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parimo dan bukan warga dari daerah lainnya.

Baca juga : Memaknai Kepahlawanan Tombolotutu bagi Generasi Muda Sulawesi Tengah

Bahkan, ia menegaskan, apabila ada seseoramg yang mengaku Pompoisi, maka perlu dipertanyakan tiga tanda luka. Sebab, ketiga tanda luka itu didapatkan oleh Pompoisi dalam peristiwa perang yang berbeda sewaktu Agresi Militer Belanda.

Selama pembicaraan disalah satu warung di Desa Lambori bersama lelaki paruh bayah itu, Ahaludin masih mengingat kata yang keluar dari mulut Pompoisi adalah seputar perjuangannya yang pernah mengikuti Pembela Tanah Air (PETA) yang merupakan tentera pembantu yang terdiri dari bangsa Indonesia bentukan tentara Jepang.

“Pompoisi menjadi PETA sekitar tahun 1942, karena saat itu sudah dua tahun masuknya penjajahan Jepang di Indonesia dan kemudian mereka membentuk tentara sukarelawan dari orang Indonesia,”tuturnya.

Selain itu, kata Ahaludin, dari pertemuan 30 tahun lalu, Pompoisi mengaku sempat dibawa pasukan tentara dari negeri matahari terbit untuk ikut dalam Perang Dunia II. Sewaktu Jepang, Jerman, dan Italia tergabung dalam negara fasis yang melawan blok sekutu terdiri dari Inggris, Perancis, Uni Soviet, China, dan Amerika Serikat (AS). Seingat Ahaludin, Pompoisi juga pernah terlibat dalam perang Asia Timur Raya pada 2 September 1945.

“Pompoisi juga pernah ikut dengan Jepang sewaktu Perang Dunia II. Sebelumnya. Pompoisi dibawah Jepang di Perang Dunia II sebagai koiki, namun karena situasi Jepang yang sudah tersudutkan, maka Pompoisi dipersenjatai oleh Jepang. Tapi dia bisa pulang dari Jerman mengikuti salah satu kapal bertujuan ke Indonesia,”terangnya.

Ketika sesampainya Pompoisi di tanah air, dirinya langsung membuang segala atribut tentara Jepang dan langsung tergabung dalam gerilyawan yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

“Saya tidak akan menyampaikan secara berlebihan, tapi dari pengakuan beliau setelah dia tiba di Jawa dan bertemu dengan gerilyawan di Surabaya selama 8 tahun tinggal di hutan bergerilya,”terangnya.

Setelah berhasil mengusir penjajah dari Indonesia, Pompoisi menjalani hidupnya seperti sediakala. Akan tetapi, kehidupan itu tidak berlangsung lama. Pasalnya, pada Gerakan 30 September 1965, nama Pompoisi disebut menjadi salah satu target pembunuhan perwira TNI. Informasi itu ia dapatkan dari Ibunda Megawati Soekarnoputri yakni Fatmawati. Ketika mendengar pernyataan itu. Secara sembunyi-sembunyi Pompoisi berusaha keluar dari Pulau Jawa dan memilih untuk sementara menetap di Desa Sipayo, Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parimo.

“Pompoisi pernah mengatakan, kalau dia pulang ke Palasa pada tahun 1965, karena mendengar dari Istri Presiden Soekarno yaitu Ibu Fatmawati akan adanya pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno, dia juga menjadi salah satu target pembunuhan kepada perwira TNI ,”ucap Ahaludin.

“Saya juga pernah mempertanyakan, kenapa Om (Pompoisi) keluar secara diam-diam dari Jawa, beliu bilang, kalau saya tidak keluar secara cepat dari Jawa, maka pembunuhan 7 Jenderal itu termasuk saya salah satunya sehingga awal kedatangan saya dari Jawa saya tinggal di pegunungan Sipayo,”tutur Ahaludin sambil mengikuti perkataan dari Pompoisi.

Cukup lama tinggal di Sipayo, kemudian Pompoisi memutuskan untuk  kembali ke kampung halamannya dan menghabiskan masa hidupnya di Desa Palasa Lambori.

Secara terpisah, salah narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya, memperlihatkan Surat Keputusam Presiden Republik Indonesia terkait pengangkatan Pompoisi sebagai Jenderal yang ditandatangani langsung oleh Presiden Pertama Indonesia, Soekarno di Jakarta pada 21 Januari 1950 dan berstempel lambang garuda.

Menariknya, dalam kertas tersebut, Pompoisi tertulis bernama lengkap Poisi Wasito. Dijelaskan dalam kertas itu, Pompoisi pernah merobek warna biru bendera dari Belanda dan menyisahkan merah purih, kemudian ia kibarkan kembali bendera yang kini menjadi bendera nasional Indonesia.

“Surat Keputusan, Presiden Republik Indonesia. Menetapkan perdjoengan POISI WASITO menoeroenkan Bendera Belanda merobek biroe dinaikan kembali merah poetih di Soerabaja tanggal 19 September 1945. Agresi Belanda I 1-3-1947 di Idjon, Agresi Belanda II 10-12-1948 di Pingit, Agresi Belanda III 3-5-1949 di Djokjakarta di pimpin SOEDIRMAN Panglima Perang memberikan 3 (tiga) bintang dengan pangkat DJENDERAL diresmikan di Pengangsaan Timoer nomor 56 Djakarta tanggal 21-1-1. Penghargaan berlaku selama bendera Merah Poetih berikibar. Djakarta 21-1-1950. Presiden Republik Indonesia, SOEKARNO.”tulis dalam piagam tersebut.

Surat tersebut, katanya, dia dapatkan dari saudara kandung Pompoisi dan surat itu merupakan amanat kepada dirinya.

Berbeda dengan, Asri yang juga salah satu kerabat dari Pompoisi. Ia memilki pengalaman tersendiri dari cerita sosok Pompoisi ketika pernah bekerja di Kabupaten Sigi.

Menurutnya, Pompoisi dikenal dengan panggilan Tete Palasa, karena nama Pompisi hanya diketahui masyarakat di Kecamatan Palasa khususnya.

“Pengalaman saya waktu kerja di (Kabupaten) Sigi, ada orang Jawa pernah bertanya kepada saya, kamu asalnya darimana ?, tentu saya jawab, asal saya dari Palasa, sontak orang itu bertanya berarti kenal dengan Tete Palasa, sementara saya tidak tahu siapa yang dia maksud dengan Tete Palasa setelah saya menelpon ke Papa saya ternyata Tete Palasa itu adalah Pompoisi,”tuturnya.

“Karena memang waktu itu orang Jawa tersebut mengaku kalau Pompoisi satu hari yang lalu pernah ke rumahnya, terlihat seperti dalam kondisi sedang sakit dan sempat berpamitan dengan orang Jawa itu untuk menyenguk anaknya. Sehingga hal itu juga saya tanyakan ke Papa saya dan memang katanya sosok Tete (Kakek) kami seperti itu, sering dilihat dimana saja,”sambungnya.

Asri juga menambahkan, Pompoisi memiliki keris sakti yang bisa mendeteksi kehadiran musuh dari jarak yang paling jauh, tak hanya itu, jika keris itu bergetar, maka pertanda kemunculan musuh dan ketika keris itu berdiri secara tiba-tiba.

Asri pun meyakini, Pompoisi di makamkan di Desa Lambori, tepatnya di Dusun I, ukuran kuburannya berbentuk kecil seperti kuburan para pahlawan.

“Kuburannya itu kecil seperti kuburan pahlawan dan memang ukuran kuburan itu di bawa langsung dari Jakarta,”pungkasnya.