Scroll Untuk Membaca Artikel
banner 970x250
Dimensi

Hubungan Antar Caleg Dan Pemilih dalam Analisis Teori Pertukaran Sosial

3200
×

Hubungan Antar Caleg Dan Pemilih dalam Analisis Teori Pertukaran Sosial

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi sesesorang melakukan kampanya di hadapan pemilih. Foto : Ilustrasi

Zona Sulawesi Silangkai akan sedikit mengulik hubungan antara Calon Legislatif (Caleg) dan pemilih dari analisis teori pertukaran sosial. Barangkali tak berlebihan jika caleg dan pemilih di ibaratkan seperti dua sisi mata uang. Tidak terpisahkan.

Pasalnya, dalam ajang kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan 5 tahun sekali itu menjadi perekat antara caleg dan pemilih. Di mana seorang caleg dari partai tertentu akan berupaya mencari suara yang notabenenya berasal dari pemilih yakni masyarakat secara umum.

Indonesia saat ini sedang menjalankan proses Pemilu, melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahapan demi tahapan sudah dilakukan. Tahapan yang paling krusial ialah tahapan pemungutan suara pada 14 Februari 2024 mendatang.

Sebelum membahas lebih jauh hubungan caleg dan pemilih, Silangkai akan menguraikan pandangan teori pertukaran sosial dari Peter M. Blau.

Teori Pertukaran Sosial

Pertukaran sosial merupakan salah satu teori dalam ilmu sosiologi. Ada banyak tokoh sosiologi yang membahas tentang teori pertukaran sosial, sebut saja seperti, George Simel, George C. Homans, B. F. Skinner, John Thibaut, Harold Kelley, Richard Emerson dan Peter M. Blau.

Berangkat dari hubungan antara caleg dan pemilih. Erat kaitannya dengan teori pertukaran sosial yang dikembangkan oleh Peter M. Blau. Dalam tulisan Peter Blau yang dipubliksikan dalam The American Journal of Sociology pada Juli 1977 dan buku Teori Sosiologi karangan Doyle P.Johnson yang di terjemahkan oleh Lawang. Fokus perhatiannya adalah pada struktur hubungan yang timbul dari sebuah transaksi pertukaran, muncul gejala dalam bentuk struktur sosial yang lebih kompleks.

Blau menyatakan bahwa pertukaran sosial yang dia maksudkan terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi orang lain. Apabila reaksi itu tidak kunjung datang maka tindakan-tindakan itu akan terhenti. Jadi Blau memperkenalkan suatu model pertukaran di mana sebuah tindakan tidak hanya didorong oleh kepentingan diri yang sempit. Apapun bentuk suatu tindakan, termasuk yang bersifat altruistik, memerlukan adanya dukungan sosial yang disebut imbalan. Jadi kecenderungan untuk membantu orang lain termotivasi oleh harapan bahwa hal tersebut akan membawa imbalan sosial.

Untuk tiba pada imbalan tersebut maka seseorang perlu menekan keinginan egoistiknya. Dalam pertukaran sosial model Blau, sesuatu yang dipertukarkan menjadi penting bukan karena memiliki nilai ekonomis tetapi karena menunjukkan komitmen emosional. Sampai di sini Blau membedakan antara pertukaran yang bersifat ekstrinsik dan intrinsik.

Pertukaran yang Ekstrinsik dan Intrinsik

Dalam pandangan Blau suatu pertukaran akan bersifat ekstrinsik apabila hanya berfungsi
sebagai alat untuk imbalan yang lainnya dan bukan untuk hubungan itu sendiri. Jadi dalam
pertukaran yang ekstrinsik suatu imbalan memiliki kemungkinan untuk tidak terlepas dari
hubungan pertukaran.

Menurut Blau pertukaran ekstrinsik sejajar dengan pertukaran ekonomi, sedangkan pertukaran intrinsik sejajar dengan pertukaran sosial. Dengan demikian dalam beberapa aspek kedua jenis pertukaran ini berbeda satu sama lain. Perbedaan utamanya terletak pada prosesnya. Dalam pertukaran ekonomi terjadi negosiasi dan tawar-menawar yang disengaja.

Sedangkan pertukaran intrinsik dalam pertukaran sosial hal itu tidak terjadi. Dengan kata lain keaslian dalam banyak imbalan sosial tergantung pada tidak adanya unsur kesengajaan yang disepakati. Jadi ketika suatu imbalan sosial mulai dipertanyakan maka hal itu menunjukkan adanya keretakan hubungan atau gangguan terhadap keseimbangan komitmen secara timbal balik.

Ada juga proses pertukaran terjadi percampuran antara imbalan ekstrinsik dan intrinsik. Maksudnya yang terjadi adalah kombinasi antara keduanya. Misalnya dalam hubungan caleg dan pemilih. Ketika pemilih mengusulkan bantuan kepada caleg, baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Mungkin dengan adanya bantuan itu, lebih memberikan keyakinan dirinya kepada caleg tertentu sehingga akan menjadi pilihannya. Disini pertukarannya bersifat ekstrinsik.

Tetapi setelah menjalin hubungan lebih dekat dengan caleg tersebut, bantuan yang ditetapkan sebelumnya memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum. Yang terjadi adalah berkembangnya suatu pola pertukaran yang luas dan unik secara total dengan melibatkan emosi dan komitmen yang kuat dalam hubungan pertukaran tersebut. Dengan demikian terjadilah proses pertukaran intrinsik.

Perhitungan Suara untuk Kursi DPRD Kabupaten

Diketahui tahapan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT), baik DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah ditetapkan berdasarkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tepat pada Jumat, 3 November 2023. Dari hasil penetapan DCT itu ada 17 Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu 2024.

Bersamaan dengan itu, KPU Kabupaten Parigi Moutong juga telah menetapkan DCT sebanyak 599 orang sebagai Caleg peserta Pemilu 2024.

Seumpamanya, pemungutan surat suara telah usai dilakukan di TPS. Maka selanjutnya, KPU menetapkan jumlah suara yang sah setiap partai politik. Suara yang sah diurutkan dari perolehan suara terbanyak sampai terkecil. Kemudian, membagi jumlah suara yang sah dengan jumlah bilangan ganjil 1,3,5,7, dan seterusnya.

Kurang dan lebihnya metode Sainte Lague dikutip dari Tirto.id sebagai berikut :

  1. Partai A mendapat total 10.000 suara
  2. Partai B mendapat 8.000 suara
  3. Partai C mendapat 5.000 suara.

Untuk menentukan kursi pertama, maka masing-masing partai akan dibagi dengan angka ganjil 1.

  1. Partai A 10.000/1 = 10.000
  2. Partai B 000/1 = 8.000
  3. Partai C 5.000/1= 5.000

Dengan hasil pembagian itu, maka yang mendapatkan kursi pertama adalag Partai A dengan jumlah 10.000 suara.

Berhubung Partai A sudah menang pada pembagian 1, maka untuk selanjutnya Partai A akan dihitung dengan pembagian angka 3. Sementara Partai B dan C tetap dibagi angka 1.

  1. Partai A 10.000/3 = 3.333
  2. Partai B 000/1 = 8.000
  3. Partai C 5.000/1= 5.000

Maka yang mendapatkan kursi kedua adalah Partai B dengan perolehan 8.000 suara.

Dari hasil pembagian dengan bilangan ganjil tersebut, maka nilai terbanyak akan memperoleh kursi pertama, kedua, dan ketiga. Begitu seterusnya sampai dengan batas jumlah kursi di masing-masing Daerah Pemilihan atau Dapil.

Seperti halnya di Dapil 3 yang meliputi Kecamatan Palasa, Tomini, Mepanga, dan Ongka Malino. Jika dijumlahkan secara merata 17 partai politik terisi 9 Caleg, maka ada sekira 153 Caleg di Dapil tersebut. Sedangkan kuota Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong dari Dapil 3 sejumlah 9 orang.

Tentunya, usaha meraup suara sebanyak mungkin hukumnya fardu ain bagi ratusan Caleg di Dapil 3 agar partai politik mereka mendominasi. Dan mampu memegang salah satu dari 9 kursi yang tersedia. Yah, dapat atau tidak, tinggal melihat perhitungan yang dilakukan KPU dengan metode Sainte Lague. Rasionalnya sih, 1 partai politik, minimal dapat 1 kursi saja sudah lumayan untuk mengisi gedung parlemen Kabupaten Parigi Moutong.

Nah, seorang Caleg bisa memperoleh kursi jika dirinya mampu mengalahkan suara Caleg lainnya. Bahkan, ada yang bilang, pertarungan sesungguhnya adalah sesama Caleg di partai politik yang serupa. Misalnya, partai politik A memiliki sebanyak 9 orang Caleg, maka salah satu dari 9 orang Caleg itu harus megungguli suara 8 orang Caleg lainnya.

Pertukaran Sosial dalam Hubungan Antar Caleg dan Pemilih

Dari penjabaran di atas pasti sudah ketemu benang merahnya. Yaps, benar. Partai siapa yang punya suara terbanyak. Kursi DPRD menanti. Pastinya, pemilik kursi itu adalah caleg yang meraih suara terbanyak di partai tersebut. Eits, tunggu dulu. Semua orang pasti tahu, suara itu dari pemilih. Karena esensinya suara hanya sekedar angka yang terpampang di C1. Sebenarnya, pemilihlah yang punya peranan penting atas capaian Caleg dalam Pemilu.

Perlu diketahui, menurut UU Nomor 7 Pasal 348-350 Tahun 2017, pemilih adalah WNI yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, baik sudah kawin atau belum dan pernah kawin.

Kerapkali seorang Caleg akan mengunjungi pemilih, kemudian akan menyampaikan maksud serta tujuannya ikut dalam pesta demokrasi tersebut. Ditambah, sosialisasi nomor urut partai dan nomor urut namanya dalam tabel yang tercantum di specimen surat suara.

Lazimnya, Caleg akan melakukan hal itu dengan cara dor to dor dari rumah ke rumah atau dari satu tempat tongkrongan ke tempat tongkrongan lainnya. Pun kampanye darat dengan mengumpulkan pemilih sebanyak-banyaknya.

Barangkali tidak berlebihan, jika dalam situasi seperti demikian sudah menjadi rahasia umum kalau pemilih akan melontarkan usulan bantuan kepada Caleg tersebut. Usalannya bermacam-macam. Adakalanya bantuan untuk pembangunan rumah ibadah, rabat jalan, penunjang pertanian serta perkebunan, sarana dan prasana olahraga, dan masih banyak lagi.

Kiranya tak menjadi persoalan, apabila usulan-usulan dalam bentuk barang itu tak disegerakan ada. Kadang kala, pemilih memberi ultimatum kepada Caleg untuk mengharuskan barang itu diadakan terlebih dahulu sebelum pemilihan di TPS berlangsung.

Tak bisa di pungkiri, bahwa pemilih tidak melihat Caleg dari latar belakang ekonominya. Asalkan berstatus sebagai Caleg, maka pemilih beranggapan, Caleg merupakan objek untuk mengusulkan beragam jenis bantuan. Memang bukan dalam bentuk uang. Tapi jangan lupa, barang hanya bisa dibeli dengan uang.

Oleh sebab itu, akan timbul sebuah transaksi pertukaran yang berdasarkan nilai ekonomis. Sederhananya, ada bantuan ada suara.

Dengan demikian, Caleg tertentu akan memiliki beban politik yang harus ditunaikan. Jika tidak ada bukti, maka pemilih bisa saja mengalihkan suaranya ke Caleg yang lain. Pastinya, Caleg yang bisa mengeksekusi usalan dari pemilih tersebut.

Lagi pula, pemilih tak sepenuhnya salah kalau mengusulkan bantuan kepada Caleg. Mungkin saja, pemilih-pemilih seperti itu sudah bosan mendapatkan janji dari Caleg sebelumnya. Dan ketika Caleg itu terpilih menajadi Anggota DPRD, ia ingkar merealisasikan ucapannya.

Sekalipun demikian, tidak semua pemilih didasarkan atas bantuan barang. Malah, ada pemilih menunjukkan komitmen emosional atau lebih tepatnya komitmen moral. Pemilih secara ikhlas akan memberikan hak suaranya kepada Caleg karena mendahulukan perasaan. di mana pemilih merasa bahwa Caleg tertentu memiliki sikap baik dan sering menolong.

Sekalipun Caleg memberikan bantuan kepada pemilih yang mempunyai komitmen moral, mereka tidak melihat pada nilai ekonomis dari bantuan tetapi makna yang ada dibalik bantuan itu untuk memberikan hak suaranya.

Sebab, menurut Silangkai, caleg bisa di pilih karena 3 faktor, pertama di kenal, kedua di suka, ketiga di pilih. Caleg yang di kenal belum tentu di suka, apalagi akan di pilih. Tetapi, caleg yang di kenal bahkan di sukai, sudah tentu  akan di pilih.

Seorang caleg membuat dirinya di kenal dan di suka hingga di pilih tergantung caranya meyakinkan pemilih. Entah dengan cara memberikan beragam bantuan atau menunjukkan diri sebagai seorang yang mengesankan. Selebihnya, biar pemilih yang akan menentukan arah hak suaranya berlabuh.

Bahwasanya, teori pertukaran sosial yang di kembangkan oleh Peter Blau bisa dijumpai pada hubungan antar caleg dan pemilih seperti yang Silangkai uraikan di atas.

Baca juga : Toponimi Kecamatan Palasa