Scroll Untuk Membaca Artikel

DimensiZONA Sulawesi Tengah

Indonesia Emas 2045 Dalam Bayangan Kemiskinan Anak

164
×

Indonesia Emas 2045 Dalam Bayangan Kemiskinan Anak

Sebarkan artikel ini
Mohamad Fadlian Syah [ASN BPS Provinsi Sulawesi Tengah]. Foto : Pribadi

Oleh : Mohamad Fadlian Syah [ASN BPS Provinsi Sulawesi Tengah]

Palu, Zona Sulawesi – Indonesia Emas 2045 merupakan harapan segenap bangsa Indonesia, dimana pada tahun itu diharapkan Indonesia menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka dibutuhkan pemahaman dan penggunaan data yang sama agar perencanaan pembangunan lebih terintegrasi, terkonsolidasi dan terorganisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah yaitu dengan menerbitkan Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Tujuan perpres ini yaitu mewujudkan ketersediaan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan.
Dengan diterbitkannya Perpres Nomor 39 Tahun 2019 ini diharapkan dapat mengatasi segala masalah kesimpangsiuran data sehingga Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.

Generasi emas merupakan penduduk Indonesia yang saat ini masih bayi dan anak-anak tetapi sekitar 25 tahun yang akan datang, bayi dan anak-anak ini akan menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia di 100 tahun Indonesia Merdeka (Indonesia Emas 2045). Namun demikian, generasi emas ini tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi.

Salah satu permasalahan yang perlu segera diatasi untuk mempersiapkan generasi emas adalah kemiskinan anak-anak. Mustahil Indonesia Emas 2045 dapat terwujud, jika kemiskinan yang melanda anak-anak belum dihilangkan dari bumi Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah.

Menurut konsep Badan Pusat Statistik (BPS), yang dimaksud dengan anak-anak adalah penduduk yang berumur 0-17 tahun, hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016, persentase kemiskinan anak-anak di Sulawesi Tengah sebesar 18,5 persen. Kemudian nilai ini turun menjadi 17,6 persen di Tahun 2020 (Susenas Maret 2020), ini berarti pada tahun 2020 diantara 100 anak yang berusia 0-17 tahun masih terdapat sekitar 17 sampai 18 anak yang hidup berada di bawah garis kemiskinan.

Ditinjau dari daerah tempat tinggal, pada tahun 2020 tingkat kemiskinan anak-anak di wilayah perdesaan lebih tinggi dibanding tingkat kemiskinan anak-anak di wilayah perkotaan.

Persentase anak-anak miskin di wilayah perdesaan sebesar 19,6 persen, sementara persentase anak-anak miskin di wilayah perkotaan hanya sebesar 12,8 persen. Dengan kata lain konsentrasi kemiskinan anak-anak berada di wilayah perdesaan.

Kemudian lebih lanjut, jarak rata-rata pengeluaran anak-anak miskin di wilayah perdesaan lebih dalam daripada anak-anak miskin di wilayah perkotaan terhadap garis kemiskinan, dimana nilai indeks kedalaman kemiskinan (P1) di wilayah perdesaan sebesar 4,1 sedangkan di wilayah perkotaan sebesar 2,5. Ini berarti usaha yang dibutuhkan untuk mengangkat anak-anak miskin yang berada di bawah garis kemiskinan di wilayah perdesaan lebih banyak dibandingkan anak-anak miskin di wilayah perkotaan.

Nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) yang mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin, menunjukkan bahwa anak-anak miskin di wilayah perdesaan lebih besar ketimpangannya dibanding di wilayah perkotaan, dimana nilai P2 anak-anak miskin di wilayah perdesaan sebesar 1,3 sedangkan di wilayah perkotaan hanya sebesar 0,6. Ini berarti di wilayah perdesaan diperlukan lebih banyak jenis/diversifikasi usaha pengentasan kemiskinan anak-anak dibanding di wilayah perkotaan.

Jika dipilah berdasarkan jenis kelamin, maka persentase kemiskinan anak laki-laki sebesar 17,1 persen sedangkan anak perempuan sebesar 18,2 persen. Kedua nilai ini menunjukkan ada perbedaan yang cukup signifikan antara tingkat risiko anak laki-laki dan anak perempuan untuk menjadi miskin. Atau dengan kata lain bahwa risiko anak laki-laki untuk menjadi miskin lebih rendah daripada anak perempuan.

Kemudian pengelompokkan lebih lanjut untuk anak usia 0-17 tahun ini, ternyata kelompok anak usia 0-4 tahun tercatat lebih mengalami insiden kemiskinan tertinggi dibanding kelompok usia diatasnya yaitu sebesar 19,9 persen, sementara kelompok anak usia 5-9 tahun, 10-14 tahun dan 15-17 tahun, nilainya secara berturut-turut yaitu 18,1 persen, 16,6 persen dan 14,6 persen.

Selanjutnya, jika dilihat menurut jumlah anggota rumah tangga, maka anak-anak yang tinggal pada rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga tujuh orang atau lebih ternyata mempunyai resiko lebih tinggi untuk menjadi miskin sekitar 37,5 persen, yang berarti sekitar satu dari tiga anak yang tinggal pada rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari tujuh orang, hidup di bawah garis kemiskinan.

Sedangkan untuk jumlah anggota rumah tangga 1-3 orang dan 4-6 orang, nilainya sebesar 5,7 persen dan 14,4 persen. Hal ini sejalan dengan Analisis Kemiskinan Makro (BPS, 2016) yang menyebutkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin lebih tinggi daripada rata-rata jumlah anggota rumah tangga tidak miskin.

Ini bisa disebabkan karena jumlah anggota rumah tangga yang besar menjadi beban ekonomi bagi kepala rumah tangga tanpa melihat status pekerjaan anggota rumah tangga.

Anak-anak yang hidup sekarang merupakan calon generasi emas, dan sebagai modal dasar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Agar modal dasar generasi emas yang berkarakter baik, berketerampilan mumpuni dan pengetahuan yang luas dapat terwujud, maka dibutuhkan Satu Data Indonesia sebagai pijakan dalam setiap melakukan kebijakan pembangunan, sehingga segala permasalahan yang dihadapi dalam rangka penyiapan generasi emas dapat diatasi salah satunya adalah kemiskinan anak-anak.

Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemiskinan anak-anak jika dihubungkan dengan prinsip Satu Data Indonesia yaitu 1) mempersiapkan data kemiskinan anak-anak yang memiliki standar data, metadata, dan memenuhi kaidah interoperabilitas serta menggunakan kode referensi dan/atau data induk yang bersifat unik, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pengentasan kemiskinan anak-anak baik bagi pemerintah maupun stakeholder terkait; 2) sehubungan pada bulan September ini, tepatnya tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional (HSN), dimana HSN dirayakan tanggal 26 September setiap tahun atau bersamaan dengan tanggal ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1960 yang menggantikan peraturan zaman kolonial, maka penulis mengajak kepada kita semua, mengenai pentingnya data dan statistik, karena tanpa itu, tidak mungkin kita dapat membuat perencanaan yang jelas mengenai capaian pembangunan dan pengawasannya. Termasuk dalam rangka penggunaan data dan statistik untuk pengentasan kemiskinan anak-anak dalam mempersiapkan Generasi Emas menuju Indonesia Emas 2045.