Scroll Untuk Membaca Artikel

ZONA Parigi MoutongZONA Sosial Budaya

LJi Sulteng : Masoro Bentuk Kesyukuran Masyakat Adat Lauje Terhadap Alam Semesta

180
×

LJi Sulteng : Masoro Bentuk Kesyukuran Masyakat Adat Lauje Terhadap Alam Semesta

Sebarkan artikel ini
Direktur LJi Sulteng, Alkiyat JD (kanan) bersama Kabid Kebudayaan Disdikbud Sulteng, Dr Rahman Asyari (kiri), dan Moderator, Masrin (tengah) dalam FGD Pelestarian Budaya Suku Lauje. Foto : Zona Sulawesi

Parigi Moutong, Zona Sulawesi – Direktur Lauje Institute (LJi) Sulteng, Alkiyat JD berpandangan, bahwa ritual Masoro  merupakan bentuk kesyukuran  masyarakat adat Lauje terhadap alam semesta.

“Terkait budaya masoro suku lauje, saya lebih memandangnya ke makna yg terkandung di dalamnya,”kata Alkiyat saat memberikan materi di Forum Group Diskusi (FGD) yang dilaksanakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Sulteng, di Aula SMA N 1 Tinombo, Jumat (3/6/2022).

Menurutnya, masyarakat adat Lauje memberikan penghormatan kepada alam semesta yang telah memberikan hasil bumi kepada umat manusia melalui Masoro tersebut. Dan hal itu telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat adat Lauje.

“Bahwa, budaya Momasoro ini adalah ungkapan terimakasih dan rasa syukur masyarakat adat Lauje kepada alam semesta yang telah menganugerahkan hasil bumi kepada umat manusia. Dimana rasa terimakasih ini diwujudkan dalam setiap tindakan yang diyakini mewakili setiap wilayah yang menjadi sumber rejeki,”ujarnya.

Baca juga : Masoro Suku Lauje Didorong jadi Warisan Tak Benda

Alkiyat menjelaskan, setiap perangkat dan sesembahan dalam Masoro berasal dari alam semesta, sehingga masyarakat adat Lauje dan alam semesta adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

“Seperti perahu, adalah simbol yang berasal dari hutan atau kayu, lalu hasil bumi yang berasal dari wilayah pengolahan lahan, dan berakhir di muara atau laut yang diyakini sebagai tempat berakhirnya perjalanan rejeki manusia,”jelas Alkiyat.

Ia juga menerangkan, masyarakat adat Lauje memilki keyakinan terhadap entitas yang telah memberikan kesuburan dan Kesehatan kepada mereka. Dalam penyebutan masyarakat adat Lauje yaitu Togu Wogo (Penjaga Air) dan Togu Petu (Penajaga Tanah). Sebab, dalam proses pelaksanaan Masoro selama tiga hari masyarakat setempat tidak boleh menggali tanah dan menebang pepohonan.

“Maka setiap fase Momasoro, adalah bentuk persembahan kepada sang bumi sekaligus kepada sang pemberi rejeki. Adapun fase akhir dari masoro atau mepali, juga sebagai bentuk penghargaan kepada bumi dengan tujuan mengistirahatkan sejenak tanggungjawab bumi untuk memberi makan umat manusia,”terangnya.