PARIMO, ZonaSulawesi.id – Proyek rehabilitasi ruangan Wakil Bupati Parigi Moutong (Parimo) menuai sorotan. Pagu anggaran yang semula tercatat sebesar Rp623.647.960 tiba-tiba mengalami koreksi di tengah proses menjadi hanya Rp398.926.162,76. Selisih anggaran yang mencapai sekitar Rp200 juta ini dinilai janggal dan memunculkan berbagai dugaan.
Kuat dugaan, perbedaan signifikan antara pagu anggaran dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tersebut sengaja dilakukan untuk menghindari mekanisme tender. Dengan nilai yang dikoreksi berada di bawah Rp400 juta, proyek ini berpotensi dialihkan ke metode pengadaan langsung, sehingga lebih mudah diarahkan kepada kontraktor tertentu.
Sebagai informasi, sebelumnya batas nilai pengadaan langsung hanya maksimal Rp200 juta. Namun, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, nilai pengadaan langsung kini dinaikkan hingga Rp400 juta. Artinya, proyek dengan nilai di bawah angka tersebut dapat dilaksanakan tanpa melalui proses lelang atau tender terbuka.
Berdasarkan penelusuran media ini, muncul pula dugaan adanya unsur kesengajaan memecah anggaran menjadi beberapa paket pekerjaan bernilai lebih kecil agar dapat dilakukan melalui mekanisme pengadaan langsung.
Secara aturan hukum pengadaan, memang tidak terdapat larangan apabila pagu anggaran lebih besar dari HPS. Namun, HPS berfungsi sebagai batas tertinggi penawaran yang dapat diterima sekaligus alat untuk menilai kewajaran harga. Perbedaan sekitar 33 persen dari pagu ini masih dapat dikategorikan sebagai efisiensi, sepanjang HPS tersebut disusun secara sah, wajar, dan akuntabel berdasarkan survei harga pasar terkini, serta pekerjaan tetap dapat dilaksanakan dengan kualitas yang diharapkan.
Meski demikian, selisih anggaran yang sangat besar kerap menjadi perhatian auditor dan aparat pengawas. Kondisi ini biasanya memicu pemeriksaan lebih mendalam terhadap proses perencanaan awal, penetapan pagu anggaran, serta penyusunan HPS untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang maupun potensi kerugian negara.
Adapun sejumlah indikasi potensi masalah yang dapat muncul akibat kondisi ini, di antaranya:
HPS tidak akurat atau terlalu rendah, sehingga berisiko menghasilkan pekerjaan berkualitas rendah atau bahkan gagal melalui proses pengadaan.
Dugaan penggelembungan pagu (markup) sejak tahap perencanaan, karena selisih yang besar dapat mengindikasikan anggaran awal tidak sesuai dengan kebutuhan riil proyek.
Perubahan lingkup pekerjaan yang signifikan, di mana ruang lingkup proyek diduga menyusut setelah pagu ditetapkan, namun tidak diikuti dengan penyesuaian anggaran secara formal.
Konsekuensi lain dari koreksi anggaran tersebut adalah perubahan langsung status pengadaan. Jika sebelumnya proyek dengan nilai sekitar Rp600 juta wajib melalui tender, maka setelah dikoreksi ke angka Rp398 juta, statusnya otomatis berubah menjadi pengadaan langsung.
Kondisi ini dinilai rawan menimbulkan polemik dan patut menjadi perhatian serius pihak berwenang agar proses pengadaan tetap berjalan transparan, akuntabel, serta bebas dari praktik penyimpangan.






